Jumat, 02 April 2010

STEVEN JOHNSONS SYNDROME


Desipta Tusima Ningsih
04/07/1661
C/KP/VI


Pendahuluan

Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai kompleks imun yang merupakan bentuk yang berat dari eritema multiformis. SJS dikenal pula sebagai eritem multiformis mayor. SJS umumnya melibatkan kulit dan membran mukosa. Ketika bentuk minor terjadi, keterlibatan yang signifikan dari mulut, hidung, mata, vagina, uretra, saluran pencernaan, dan membran mukosa saluran pernafasan bawah dapat berkembang menjadi suatu penyakit. Keterlibatan saluran pencernaan dan saluran pernafasan dapat berlanjut menjadi nekrosis. SJS merupakan penyakit sistemik serius yang sangat potensial menjadi penyakit yang sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis. Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%


Definisi

Stevens-Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui adalah dari pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan.


Penyebab

Sindrom Stevens Johnson dapat disebabkan oleh karena :
1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-Barr, atau sejenisnya),
2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib, sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfonamide, fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin),
3. Keganasan (karsinoma dan limfoma), atau
4. Faktor idiopatik (hingga 50%).
Sindrom Stevens Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom Steven Johnson juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena penggunaan antibiotic dan sulfametoksazole. Pengobatan yang secara turun menurun diketahui menyebabkan SJS, eritem multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfonamide (antibiotik), penisilin (antibiotic), barbiturate (sedative), lamotrigin (antikonvulsan), fenitoin – dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SJS.


Patofisiologi

Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.


Manifestasi Klinis

SJS biasanya mulai timbul dengan gejala-gejala seperti infeksi saluran pernapasan atas yang tidak spesifik, kadang-kadang 1-14 hari. Ada demam, susah menelan, menggigil, nyeri kepala, rasa lelah, sering kali juga muntah-muntah dan diare. Muncul kelainan kulit, seperti koreng, melepuh, sampai bernanah, serta sulit makan dan minum. Bahkan juga mengenai saluran kencing menyebabkan nyeri.
Kelainan kulit bisa dimulai dengan bercak kemerahan tersebar vesikel dan membesar hingga menimbulkan jaringan parut, terutama pada selaput lendir seperti di hidung, mulut, mata, alat kelamin, dan lain-lain. Berat ringannya manifestasi klinis SJS bervariasi pada tiap individu bisa dari yang ringan sampai berat menimbulkan gangguan pernapasan dan infeksi berat sampai mematikan.


Penatalaksanaan

Seluruh pengobatan harus dihentikan, khususnya yang diketahui menyebabkan reaksi SJS. Penatalaksanaan awalnya sama dengan penanganan pasien dengan luka bakar, dan perawatan lanjutan dapat berupa suportif (misalkan cairan intravena) dan simptomatik (misalkan analgesik, dll), tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ini. Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit yang terkelupas/terbuka. Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan calamine lotion. Pengobatan dengan kortikosteroid masih kontroversial semenjak hal itu dapat menyebabkan perburukan kondisi dan peningkatan resiko untuk terkena infeksi sekunder. Zat lainnya yang digunakan, antara lain siklofosfamid dan siklosporin, namun tidak ada yang berhasil. Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang menjanjikan dalam mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki gejala. Pengobatan suportif lain diantaranya penggunaan anestesi nyeri topikal dan antiseptic, yang dapat menjaga lingkungan tetap hangat, dan penggunaan analgesic intravena. Seorang oftalmologis atau optometris harus dikonsultasikan secepatnya, oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam bola mata yang kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan terganggunya penglihatan, dan gangguan mata lainnya. Diperlukan pula adanya program fisioterapi setelah pasien diperbolehkan pulang dari rumah sakit.


Prognosis

Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka kematian sekitar 5%. Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan. Outcome lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian.

Tidak ada komentar: