Rabu, 31 Maret 2010


“PEMERIKSAAN FISIK SISTEM NEUROLOGI”



By :AgneZweet
04.07.1662
C.Kp.VI


Mari kita berbagi ilmu & smoga ini bermanfaat bagi Qt semua, amin..

A. ANAMNESA

Perlu ditanyakan keluhan utama pasien.Pada setiap keluhan ditanyakan :

1. Sejak kapan timbul
2. Sifat serta beratnya
3. Lokasi serta penjalarannya
4. Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, habis makan, dsb.)
5. Keluhan lain yang ada kaitannya
6. Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya
7. Faktor yang memperberat atau memperingan keluhan
8. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat/ringan, datang dalam bentuk serangan, dsb.


Pada pasien dengan penyakit syaraf, harus dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau kelainan di bawah ini, dengan mengajukan pertanyaan.

9. Nyeri kepala
10. Muntah
11. Vertigo
12. Gangguan penglihatan
13. Gangguan pendengaran
14. Gangguan syraf otak lainnya
15. Gangguan fungsi luhur
16. Gangguan kesadaran
17. Gangguan motorik
18. Gangguan sensibilitas
19. Gangguan syaraf otonom


B. PEMERIKSAAN TINGKAT KESADARAN

PrinsipNya :
Untuk Mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma glasgow yang memperhatikan tanggapan / respon pasien terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respon tersebut. Tanggapan atau respon pasien yang perlu diperhatikan ialah : Respon Membuka mata (Eye), Respon verbal (V), dan respon motorik (M).

Skala Glasgow 

Parameter

 

Nilai

Mata

Membuka secara spontan

4

 

Terhadap suara

3

 

Terhadap nyeri

2

 

Tidak berespon

1

Respon Verbal

Orientasi baik

5

 

Bingung

4

 

Kata-kata tidak jelas

3

 

Bunyi tidak jelas

2

 

Tidak berespon

1

Respon Motorik/Gerakan

Mengikuti perintah

6

 

Gerakan local

5

 

Fleksi, menarik

4

 

Fleksi abnormal

3

 

Ekstensi abnormal

2

 

Tidak ada gerakan

1


Nilai max.15, min.3





C. PEMERIKSAAN RANGSANGAN MENINGEAL

Bila ada peradangan selaput otak atau di rongga sub arachnoid terdapat benda asing seperti darah, maka dapat merangsang selaput otak

1. Kaku kuduk
Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan dengan cara :
a. Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring
b. Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada.
c. Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan.
d. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak mencapai dada.
e. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat, kepala tidak dapat ditekuk, malah sering kepala terkedik ke belakang.
f. Pada keadaan yang ringan, kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami waktu menekukkan kepala.

2. Tanda laseque
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien berbaring lurus,
b. lakukan ekstensi pada kedua tungkai.
c. Kemudian salah satu tungkai diangkat lurus, di fleksikan pada sendi panggul.
d. Tungkai yang satu lagi harus berada dalam keadaan ekstensi / lurus.
e. Normal : Jika kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit atau tahanan.
f. Laseq (+) = bila timbul rasa sakit atau tahanan sebelum kita mencapai 70 o


3. Tanda Kerniq
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien berbaring lurus di tempat tidur.
b. Pasien difleksikan pahanya pada sendi panggul sampai membuat sudut 90o,
c. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut.
d. Biasanya dapat dilakukan ekstensi sampai sudut 135 o, antara tungkai bawah dan tungkai atas.
e. Tanda kerniq (+) = Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut 135̊

4. Tanda Brudzinsky I
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien berbaring di tempat tidur.
b. Dengan tangan yang ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada.
c. Tangan yang satunya lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan.
d. Brudzinsky I (+) ditemukan fleksi pada kedua tungkai.

5. Tanda Brudzinsky II
Pemeriksaan dilakukan seagai berikut :
a. Pasien berbaring di tempat tidur.
b. Satu tungkai di fleksikan pada sendi panggul, sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan lurus.
c. Brudzinsky I (+) ditemukan tungkai yang satu ikut pula fleksi, tapi perhatikan apakah ada kelumpuhan pada tungkai.


D. PEMERIKSAAN KEKUATAN MOTORIK

1. Inspeksi
- Perhatikan sikap pasien waktu berdiri, duduk, berbaring dan bergerak,
- Perhatikan bentuknya apakah ada deformitas,
- Perhatikan ukuran nya apakah sama bagian tubuh kiri dan kanan
- Perhatikan adanya gerakan abnormal yang tidak dapat dikendalikan seperti tremor, khorea, atetose, distonia, ballismus, spasme, tik, fasikulasi dan miokloni.


2. Palpasi
- Pasien disuruh mengistirahatkan ototnya
- Palpasi otot untuk menentukan konsistensi dan nyeri tekan, tonus otot

3. Pemeriksaan gerakan aktif
- Pasien disuruh menggerakan bagian ekstremitas atau badannya dan kita pemeriksa menahan gerakan tersebut
- Kita pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan disuruh ia menahan

Penilaian status motorik dilakukan dengan melihat :
1. Fungsi motoris dengan menilai : Besar dan bentuk otot, tonus otot dan kekuatan otot ekstremitas (skala 0 – 5)
1) 0 = tidak ada gerakan
2) 1 = kontraksi otot minimal terasa tanpa menimbulkan gerak
3) 2 = otot dapat bergerak bila gaya berat dihilangkan
4) 3 = gerakan otot dapat melawan gaya berat tapi tidak bisa thd tahanan pemeriksa
5) 4 = gerakan otot dg tahanan ringan pemeriksa dan dapat melawan gaya berat
6) 5 = gerakan otot dg tahanan maksimal pemeriksa
Pada pemeriksaan kekuatan otot digunakan skala dari 0-5. Seperti pada gambar di bawah ini:

4. Pemeriksaan gerakan pasif
5. Koordinasi gerak


E. PEMERIKSAAN SENSORIK

1. Pemeriksaan sensibilitas : Pemeriksaan rasa raba, Pemeriksaan rasa nyeri, Pemeriksaan rasa suhu
2. Pemeriksaan rasa gerak dan rasa sikap
3. Pemeriksaan rasa getar
4. Pemeriksaan rasa tekan
5. Pemeriksaan rasa interoseptif : perasaan tentang organ dalam
6. Nyeri rujukan


F. PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS

1. Pemeriksaan N. I : Olfaktorius
Fungsi : Sensorik khusus (menghidu, membau)
Cara Pemeriksaan :
a. Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat, misalnya ingus atau polip, karena dapat mengurangi ketajaman penciuman.
b. Gunakan zat pengetes yang dikenal sehari-hari seperti kopi, teh, tembakau dan jeruk.
c. Jangan gunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung (N V) seperti mentol, amoniak, alkohol dan cuka.
d. Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan disuruh pasien menciumnya
e. Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu dengan jalan menutup lobang hidung yang lainnya dengan tangan.


2. Pemeriksaan N. II : Optikus

Fungsi : Sensorik khusus melihat
Tujuan pemeriksaan :
a. Mengukur ketajaman penglihatan / visus dan menentukan apakah kelaianan pada visus disebabkan oleh kelaianan okuler lokal atau kelaianan syaraf.
b. Mempelajari lapangan pandangan
c. Memeriksa keadaan papil optik

Cara Pemeriksaan :
Jika pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan nervus II dan pemeriksa juga tidak mencurigai adanya gangguan, maka biasanya dilakukan pemeriksaan nervus II , yaitu :
a. Ketajaman penglihatan
b. Lapangan pandangan
Bila ditemukan kelainan, dilakuakn pemeriksaan yang lebih teliti. Perlu dilakukan pemeriksaan oftalmoskopik.


Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan :
1. Dilakukan dengan cara memandingkan ketajaman penglihatan pasien dengan pemeriksa yang normal.
2. Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh, misalnya jam dinding dan ditanyakan pukul berapa.
3. Pasien disuruh membaca huruf-huruf yang ada di koran atau di buku.
4. Bila ketajaman penglihatan pasien sama dengan pemeriksa, maka dianggap normal.
5. Pemeriksaan ketajaman penglihatan yang lebih teliti dengan pemeriksaan visus dengan menggunakan gambar snellen.
6. Pemeriksaan snellen chart
a. Pasien disuruh membaca gambar snellen dari jarak 6 m
b. Tentukan sampai barisan mana ia dapat membacanya.
c. Bila pasien dapat membaca sampai barisan paling bawah, maka ketajaman penglihatannya norma (6/6)
d. Bila tidak normal :
i. Misal 6/20, berarti huruf yang seharusnya dibaca pada jarak 20 m, pasien hanya dapat memaca pada jaral 6 m, namun bila pasien dapat melihat melalui lubang kecil (kertas yang berluang, lubang peniti), huruf bertambah jelas, maka pasien mengalami kelainan refraksi.
ii. 1/300 = Pasien dapat melihat gerakan tangan / membedakan adanya gerakan atau tidak
iii. 1/~ = pasien hanya dapat membedakan gelap dan terang

Pemeriksaan Lapangan Pandangan :
Dilakukan dengan jalan membandingkan dengan penglihatan pemeriksa yang dianggap normal., dengan menggunakan metode konfrontasi dari donder.
1. Pasien disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kira-kira 1 m.
2. Jika kita hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri pasien harus ditutup, misalnya dengan tangan atau kertas, sedangkan pemeriksa harus menutup mata kanannya.
3. Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat mata kanan pasien.
4. Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang pertengahan antara pemeriksa dan pasien.
5. Lakukan gerakan dari arah luar ke dalam
6. Jika pasien mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, ia harus memberi tahu dan dibandingkan dengan pemeriksa, apakah pemeriksa juga melihatnya
7. Bila sekiranya ada gangguan kampus penglihatan, maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut.
8. Lakukan pemeriksaan pada masing-masing mata pasien.

3. Pemeriksaan N. III Okulomotorius
Fungsi : Sematomotorik, visero motorik
Meninervasi m. Rektus internus (medialis), m. Rektus superior dan m. Rektus inferior, m levator palpebra, serabut visero motorik mengurus m. Sfingter pupil dan m. Siliare (lensa mata).


4. Pemeriksaan N. IV Trokhlearis
Fungsi : Somatomotorik
Menginervasi m. Obliqus superior. Kerja otot ini menyebabkan mata dapat dilirikkan ke bawah dan nasal.

5. Pemeriksaan N. V Trigeminus
Fungsi : Somatomotorik, somatosensorik
Bagian motorik mengurus otot-otot untuk mengunyah, ayitu menutup mulut, menggerakkan rahang ke bahwa dan samping dan membuka mulut.
Bagian sensorik cabang Oftalmik mengurus sensibilitas dahi, mata, hidung, kening, selaput otak, sinus paranasal dan sebagian mukosa hidung.
Bagian sensorik cabang maksilaris mengurus sensibilitas rahang atas, gigi atas, bibir atas, pipi, palatum durum, sinus maksilaris dan mukosa hidung.
Bagian sensorik cabang mandibularis mengurus sensibilitas rahang bawah, bibir bawah, mukosa pipi, 2/3 bagian depan lidah dan sebagian telinga, meatus dan selaput otak.

Cara pemeriksaan fungsi motorik :
a. Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kita raba m. Masseter dan m. Temporalis, perhatikan besarnya, tonus serta bentuknya.
b. Kemudian pasien disuruh membuka mulut dan perhatikan apakah ada deviasi rahang bawah.
c. Bila ada parise, maka rahang bawah akan berdeviasi ke arah yang lumpuh

Cara pemeriksaan fungsi sensorik :
a. Diperiksa dengan menyelidiki rasa raba, rasa nyeri dan suhu daerah yang dipersyarafi.
b. Periksa reflek kornea

6. Pemeriksaan N. VI Abdusen
Fungsi : Somatomotorik
Meninervasi m. Rektus eksternus (lateralis). Kerja mata ini menyebabkan lirik mata ke arah temporal

Untuk N. III, IV dan VI fungsinya saling berkaitan. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstra okuler dan mengangkat kelopak mata. Searbut otonom N III, mengatur otot pupil. Cara pemeriksaannya bersamaan, yaitu :
1. Pemeriksa melakukan wawancara dengan pasien
2. Selama wawancara, pemeriksa memperhatikan celah matanya, apakah ada ptosis, eksoftalmus dan strabismus/ juling dan apakah ia cendrung memejamka matanya karena diplopia.
3. Setelah itu lakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar pupil, reaksi cahaya pupil, reaksi akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola mata dan nistagmus.
4. Untuk menilai m. Levator palpebra, pasien disuruh memejamkan matanya, kemudia disuruh ia membuka matanya.
5. Waktu pasien membuka matanya, kita tahan gerakan ini dengan jalan memegang / menekan ringan pada kelopak mata.
6. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan kelopak mata.
7. Untuk menilai pupil, perhatikan besarnya pupil pada kiri dan kanan, apakah sama ukurannya, apakah bentuknya bundar atau tidak rata tepinya. Miosis = pupil mengecil, midriasis = pupil membesar
8. Reflek cahaya pupil terdiri dari reaksi cahaya langsung atau tidak langsung., caranya :
i. Pasien disuruh melihat jauh.
ii. Setelah itu pemeriksa mata pasien di senter/ diberi cahaya dan lihat apakah ada reaksi pada pupil. Normal akan mengecil
iii. Perhatikan pupil mata yang satunya lagi, apakah ikut mengecil karena penyinaran pupil mata tadi disebut dengan reaksi cahaya tak langsung
iv. Cegah reflek akomodasi dengan pasien disuruh tetap melihat jauh.

7. Pemeriksaan N. VII Fasialis
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan, somatosensorik
Cara Pemeriksaan fungsi motorik :
a. Perhatikan muka pasien, apakah simetris atau tidak, perhatikan kerutan dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan sudut mulut.
b. Bila asimetris muka jelas disebabkan kelumpuhan jenis perifer.
c. Pada kelumpuhan jenis sentral, kelumpuhan nyata bila pasien disuruh melakukan gerakan seperti menyeringai dan pada waktu istirahat, muka simetris.
d. Suruh pasien mengangkat alis dan mengkerutkan dahi
e. Suruh pasien memejamkan mata
f. Suruh pasien menyeringai (menunjukkan gigi geligi)
g. Gejala chvostek, dengan mengetuk N. VII di bagian depan telinga. (+) bila ketokan menyebabkan kontraksi otot mata yang di persyarafi.

Fungsi pengecapan :
a. Pasien disuruh menjulurkan lidah
b. Taruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam secara bergiliran
c. Pasien tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut.
d. Pasien disuruh menyatakan pengecapan yang dirasakan dengan isyarat.

8. Pemeriksaan N. VIII Akustikus
Fungsi : Sensorik khusus pendengaran dan keseimbangan
Cara Pemeriksaan syaraf kokhlerais :
a. Ketajaman pendengaran
b. Tes swabach
c. Tes Rinne
d. Tes weber

Cara untuk menilai keseimbangan :
a. Tes romberg yang dipertajam :
- Pasien berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain, tumit kaki yang satu berada di depan jari-jari kaki yang lain
- Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup
- Orang normal mampu berdiri dalam sikap romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih

b. Tes melangkah di tempat
- Pasien disuruh berjalan di tempat dengan mata ditutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan berjalan seperti biasa
- Suruh pasien untuk tetap di tempat
- Tes abnormal jika kedudukan pasien beranjak lebih dari 1 m dari tempat semula atau badan berputar lebih 30 o

c. Tes salah tunjuk
- Pasien disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya menyentuh telunjuk pemeriksa
- Kemudian pasien disuruh menutup mata, mengangkat lengannya tinggi-tinggi dan kemudian kembali ke posisi semula
- Gangguan (+) bila didapatkan salah tunjuk

9. Pemeriksaan N. IX Glossofaringeus
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan, somatosensorik

10. Pemeriksaan N. X Vagus
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, somatosensorik

N IX dan N X diperiksa bersamaan. Cara Pemeriksaan Fungsi motorik :
- Pasien disuruh menyebutkan aaaaaa
- Perhatikan kualitas suara pasien, apakah suaranya normal, berkurang, serak atau tidak sama sekali.
- Pasien disuruh memakan makanan padat, lunak dan menelan air
- Perhatikan apakah ada kesalahan telan / tidak bisa menelan / disfagia
- Pasien disuruh membuka mulut
- Perhatikan palatum mole dan faring, perhatikan sikap palatum mole, arkus faring dan uvula dalam keadaan istirahat dan bagaimana pula waktu bergerak, misalnya waktu bernafas atau bersuara. Abnormal bila letaknya lebih rendah terhadap yang sehat.

11. Pemeriksaan N. XI aksesorius
Fungsi : Somatomotorik
Cara Pemeriksaan :
a. Untuk mengukur kekuatan otot sternocleidomastoideus dilakukan dengan cara :
- pasien disuruh menggerakkan bagian badan yang digerakkan oleh otot ini dan kita tahan gerakannya.
- Kita gerakkan bagian badan pasien dan disuruh ia menahannya.
- Dapat dinilai kekuatan ototnya.

b. Lihat otot trapezius
- apakah ada atropi atau fasikulasi,
- apakah bahu lebih rendah,
- apakah skapula menonjol
- Letakkan tangan pemeriksa diatas bahu pasien
- Suruh pasien mengangkat bahunya dan kita tahan.
- Dapat dinilai kekuatan ototnya.

12. Pemeriksaan N. XII Hipoglosus
Fungsi : Somatomotorik
Cara Pemeriksaan :
a. Suruh pasien membuka mulut dan perhatikan lidah dalam keadaan istirahat dan bergerak
b. Dalam keadaan istirahat kita perhatikan :
- besarnya lidah,
- kesamaan bagian kiri dan kanan
- adanya atrofi
- apakah lidah berkerut
c. Apakah lidahnya mencong bila digerakkan atau di julurkan


G. PEMERIKSAAN REFLEK FISIOLOGIS
1. Reflek tendon dalam (bisep dan trisep)
Derajatnya : 0 = absen reflek
1=Menurun
2 = Normal
3 = Hiperreflek
4 = Hiperreflek dengan klonus
2. Reflek superficial
a. Reflek kulit perut :
epigastrium T 6-9, abdomen tengah T 9-11, Hiogastrium T 11-L1. Abdomen digores dari arah luar menuju umbilikus --- kontraksi dinding perut
b. Kremaster ( L 1-2)
Paha bagian dalam digores—kontraksi kremaster dan penarikan testis ke atas
c. Reflek anus ( S3-4-5)
Pakai sarung tangan ujung jari dimaasukkan kedalam cincin anus terasa kontraksi spingter ani
d. Reflek bulbokavernosus
Kulit penis atau glan dicubit terlihat kontraksi bulbokavernosus
5. Reflek Plantar ( L 5, S 1-5)
Telapak kaki dirangsang akan timbul fleksi jari kaki seperti pemeriksaan Babinski

H. PEMERIKSAAN REFLEK PATOLOGIS

1. Babinski
Telapak kaki digores dari tumit menyusur bagian lateral menuju pangkal ibu jari, timbul dorso fleksi ibu jari dan pemekaran jari-jari lainnya.
2. Chadock
Tanda babinski akan timbul dengan menggores punggung kaki dari arah lateral ke depan
3. Openheim
Mengurut tibia dengan ibu jari, jario telunjuk, jari tengah dari lutut menyusur kebawah (+ = babinski)
4. Gordon
Otot gastroknemius ditekan (+ sama dengan Babinski)
5. Scahaefer
Tanda babinski timbul dengan memijit tendon Achiles
6. Rosollimo
Mengetok bagian basis telapak jari kaki (+) fleksi jari-jari kaki
7. Mendel Rechterew
Mengetok bagian dorsal basis jari kaki. (+) fleksi jari kaki
8. Hoffman –Trommer
Positif timbul gerakan mencengkram pada petikan kuku jari telunjuk atau jari tengah

Referensi :
Lumbantobing (2000) Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental, FKUI, Jakarta
Priharjo, Robert.2006.Pengkajian Fisik Keperawatan.Jakarta:EGC

Senin, 29 Maret 2010

Gagal Ginjal Akut

Mugiasih
04.07.1682
A. PENGERTIAN GAGAL GINJAL AKUT
Adalah penurunan tiba-tiba faal ginjal pada individu dengan ginjal sehat sebelumnya, dengan atau tanpa oliguria dan berakibat azotemia progresif disertai kenaikan ureum dan kreatinin darah (Imam Parsoedi A dan Ag. Soewito :Ilmu Penyakit dalam Jilid II;91 )

B. KLASIFIKASI :
1. Gagal Ginjal Akut Prerenal
2. Gagal Ginjal Akut Post Renal
3. Gagal Ginjal Akut Renal

Gagal Ginjal Akut Prerenal;
Gagal ginjal akut Prerenal adalah keadaan yang paling ringan yang dengan cepat dapat reversibel, bila ferfusi ginjal segera diperbaiki. Gagal ginjal akut Prerenal merupakan kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan histologik/morfologik pada nefron. Namun bila hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan menimbulkan terjadinya nekrosis tubulat akut (NTA).

Etiologi
1.Penurunan Volume vaskular ;
a. Kehilangan darah/plasma karena perdarahan,luka bakar.
b. Kehilangan cairan ekstraselular karena muntah, diare.

2. Kenaikan kapasitas vaskular
a. sepsis
b. Blokade ganglion
c. Reaksi anafilaksis.

3. Penurunan curah jantung/kegagalan pompa jantung
a. renjatan kardiogenik
b. Payah jantung kongesti
c. Tamponade jantung
d. Distritmia
e. Emboli paru
f. Infark jantung.

Gagal Ginjal Akut Posrenal
GGA posrenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan urin cukup, namun alirannya dalam saluran kemih terhambat. Penyebab tersering adalah obstruksi, meskipun dapat juga karena ekstravasasi

Etiologi
1. Obstruksi
a. Saluran kencing : batu, pembekuan darah, tumor, kristal dll.
b. Tubuli ginjal : Kristal, pigmen, protein (mieloma).
2. Ektravasasi.

Gagal Ginjal Akut Renal
1. GGA renal sebagai akibat penyakit ginjal primer seperti :
a. Glomerulonefritis
b. Nefrosklerosis
c. Penyakit kolagen
d. Angitis hipersensitif
e. Nefritis interstitialis akut karena obat, kimia, atau kuman.
2.Nefrosis Tubuler Akut ( NTA )
Nefropati vasomotorik akut terjadi karena iskemia ginjal sebagai kelanjutan GGA. Prerenal atau pengaruh bahan nefrotoksik.Bila iskemia ginjal sangat berat dan berlangsung lama dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis kortikol akut( NKA) dimana lesi pada umumnya difus pada seluruh korteks yang besifat reversibel.Bila lesinya tidak difus (patchy) ada kemungkinan reversibel.

Pemeriksaan Laboratorium :
1. Darah : ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas.
2. Urin : ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
3. Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
4. Gangguan keseimbangan asam basa : asidosis metabolik.
5. Gangguan keseimbangan elektrolit : hiperkalemia, hipernatremia atau hiponatremia, hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
6. Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah ginjal rusak.
7. Warna urine : kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, Mioglobin, porfirin.
8. Berat jenis urine : kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh : glomerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk memekatkan; menetap pada 1,010menunjukan kerusakan ginjal berat.
9. PH. Urine : lebih dari 7 ditemukan pada ISK., nekrosis tubular ginjal, dan gagal ginjal kronik.
10. Osmolaritas urine : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal, dan ratio urine/serum sering 1:1.
11. Klierens kreatinin urine : mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukan peningkatan bermakna.
12. Natrium Urine : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak mampu mengabsorbsi natrium.
13. Bikarbonat urine : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
14. SDM urine : mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau peningkatan GF.
15. Protein : protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM menunjukan infeksi atau nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria minimal.
16. Warna tambahan : Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna tambahan selular dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik pada NTA. Tambahan warna merah diduga nefritis glomular.

Darah :
1. Hb. : menurun pada adanya anemia.
2. Sel Darah Merah : Sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan hidup.
3. PH : Asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan hidrogen dan hasil akhir metabolisme.
4. BUN/Kreatinin : biasanya meningkat pada proporsi ratio 10:1
5. Osmolaritas serum : lebih beras dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan urine.
6. Kalium : meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan selular ( asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
7. Natrium : Biasanya meningkat tetapi dengan bervariasi.
8. Ph; kalium, dan bikarbonat menurun.
9. Klorida, fosfat dan magnesium meningkat.
10. Protein : penurunan pada kadar serum dapat menunjukan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, dan penurunan sintesis,karena kekurangan asam amino esensial
11. CT.Skan
12. MRI
13. EKG mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.

C. PENGKAJIAN
1. Aktifitas dan istirahat :
a. gejala : Kelitihan kelemahan malaese
b. Tanda : Kelemahan otot dan kehilangan tonus.

2. Sirkulasi.
Tanda : hipotensi/hipertensi (termasuk hipertensi maligna,eklampsia, hipertensi akibat kehamilan).
Disritmia jantung.
Nadi lemah/halus hipotensi ortostatik(hipovalemia).
DVI, nadi kuat,Hipervolemia).
Edema jaringan umum (termasuk area periorbital mata kaki sakrum).
Pucat, kecenderungan perdarahan.

3. Eliminasi
a. Gejala : Perubahan pola berkemih, peningkatan frekuensi,poliuria (kegagalan dini), atau penurunan frekuensi/oliguria (fase akhir)
Disuria, ragu-ragu, dorongan, dan retensi (inflamasi/obstruksi, infeksi).
Abdomen kembung diare atau konstipasi
Riwayat HPB, batu/kalkuli
b. Tanda : Perubahan warna urine contoh kuning pekat,merah, coklat, berawan.
Oliguri (biasanya 12-21 hari) poliuri (2-6 liter/hari).

4. Makanan/Cairan
a. Gejala : Peningkatan berat badan (edema) ,penurunan berat badan (dehidrasi).
Mual , muntah, anoreksia, nyeri uluhati
Penggunaan diuretik
b. Tanda : Perubahan turgor kulit/kelembaban.
Edema (Umum, bagian bawah).

5. Neurosensori
a. Gejala : Sakit kepala penglihatan kabur.
Kram otot/kejang, sindrom “kaki Gelisah”.
b. Tanda : Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidak seimbangan elektrolit/ asama basa.
Kejang, faskikulasi otot, aktifitas kejang.

6. Nyeri/Kenyamanan
a. Gejala : Nyeri tubuh , sakit kepala
b. Tanda : Perilaku berhati-hati/distrkasi, gelisah.

7. Pernafasan
a. Gejala : nafas pendek
b. Tanda : Takipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, kusmaul, nafas amonia, batuk produktif dengan sputum kental merah muda( edema paru ).

8. Keamanan
a. Gejala : adanya reaksi transfusi
b. Tanda : demam, sepsis(dehidrasi), ptekie atau kulit ekimosis, pruritus, kulit kering.

9. Penyuluhan/Pembelajaran:
Gejala : riwayat penyakit polikistik keluarga, nefritis herediter, batu urianrius, malignansi., riwayat terpapar toksin,(obat, racun lingkungan), Obat nefrotik penggunaan berulang Contoh : aminoglikosida, amfoterisisn, B,anestetik vasodilator, Tes diagnostik dengan media kontras radiografik, kondisi yang terjadi bersamaan tumor di saluran perkemihan, sepsis gram negatif, trauma/cedera kekerasan , perdarahan, cedra listrik, autoimunDM, gagal jantung/hati.

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL :
1. Perubahan kelebihan volume cairan b/d gagal ginjal dengan kelebihan air.
2. Resiko tinggi terhadap menurunnya curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan cairandan elektrolit, gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung, akumulasi/penumpukan urea toksin, kalsifikasi jaringan lunak.
3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan katabolisme protein
4. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik/pembatasan diet, anemia.
5. Resiko tinggi terhadap infeksi b/d depresi pertahanan imunologi.
6. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan berlebihan.
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi,prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang mengingat.

Diabetes Melitus


Created by : Budi Kusmartanto
04.07.1658
C/KP/VI
LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI
a. Diabetes Melitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2000).
b. Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah (Mansjoer dkk,1999).
c. Diabetes Mellitus adalah suatu sindroma gangguan metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau keduanya (Francis dan John 2000).
d. Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
e. Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).

B. KLASIFIKASI
Klasifikasi Diabetes Mellitus dari National Diabetus Data Group: Classification and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Other Categories of Glucosa Intolerance:
a. Klasifikasi Klinis
1) Diabetes Mellitus
Tipe tergantung insulin (DMTI), Tipe I atau insulin dependent diabetes melitus (IDDM)
Tipe tak tergantung insulin (DMTTI), Tipe II atau non-insulin-dependent diabetes melitus (NIDDM), yang dibagi menjadi 2 yaitu :
DMTTI yang tidak mengalami obesitas
DMTTI dengan obesitas
2) Gangguan Toleransi Glukosa (GTG)
3) Diabetes Kehamilan / Gestasional Diabetes Melitus (GDM)
b. Klasifikasi risiko statistik
1) Sebelumnya pernah menderita kelainan toleransi glukosa
2) Berpotensi menderita kelainan toleransi glukosa
Pada Diabetes Mellitus tipe 1 sel-sel β pancreas yang secara normal menghasilkan hormon insulin dihancurkan oleh proses autoimun, sebagai akibatnya penyuntikan insulin diperlukan untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Diabetes mellitus tipe I ditandai oleh awitan mendadak yang biasanya terjadi pada usia 30 tahun. Diabetes mellitus tipe II terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi insulin.

C. ETIOLOGI
a. Diabetes Mellitus tergantung insulin (DMTI) / Tipe 1 :
1) Faktor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.
2) Faktor imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.
3) Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autuimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β pancreas.
b. Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI) / Tipe 2
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia (Price,1995). Diabetes Mellitus tipe II disebut juga Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak.
Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya adalah:
1) Usia ( resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
2) Obesitas
3) Riwayat keluarga
4) Kelompok etnik (di amerika Serikat gol Hispanik serta penduduk asli Amerika tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya diabetes tipe 2 dibandingkan dengan gol Afro Amerika).

D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang lazim terjadi, pada diabetes mellitus sebagai berikut :
Pada tahap awal sering ditemukan :
a.Poliuri (banyak kencing)
Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak kencing.
b.Polidipsi (banyak minum)
Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum.
c.Polipagi (banyak makan)
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi (lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun klien banyak makan, tetap saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada pembuluh darah.
d.Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang.
Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh berusaha mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di jaringan otot dan lemak sehingga klien dengan DM walaupun banyak makan akan tetap kurus
e.Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa – sarbitol fruktasi) yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga menyebabkan pembentukan katarak.
Menurut Askandar (1998) seseorang dapat dikatakan menderita Diabetes Mellitus apabila menderita dua dari tiga gejala yaitu
a. Keluhan TRIAS: Banyak minum, Banyak kencing dan Penurunan berat badan.
b. Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120 mg/dl
c. Kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dl
Menurut Waspadji (1996) keluhan yang sering terjadi pada penderita Diabetes Mellitus adalah: Poliuria, Polidipsia, Polifagia, Berat badan menurun, Lemah, Kesemutan, Gatal, Visus menurun, Bisul/luka, Keputihan.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :
1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10. Neuropati viseral
11. Amiotropi
12. Ulkus Neurotropik
13. Penyakit ginjal
14. Penyakit pembuluh darah perifer
15. Penyakit koroner
16. Penyakit pembuluh darah otak
17. Hipertensi

E. PATOFISIOLOGI
Ibarat suatu mesin, tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak. Disamping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh dapat berfungsi dengan baik. Energi yang dibutuhkan oleh tubuh berasal dari bahan makanan yang kita makan setiap hari. Bahan makanan tersebut terdiri dari unsur karbohidrat, lemak dan protein (Suyono,1999).
Pada keadaan normal kurang lebih 50% glukosa yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 10% menjadi glikogen dan 20% sampai 40% diubah menjadi lemak. Pada Diabetes Mellitus semua proses tersebut terganggu karena terdapat defisiensi insulin. Penyerapan glukosa kedalam sel macet dan metabolismenya terganggu. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar glukosa tetap berada dalam sirkulasi darah sehingga terjadi hiperglikemia.
Penyakit Diabetes Mellitus disebabkan oleh karena gagalnya hormon insulin. Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra selluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi.
Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia. Terlalu banyak lemak yang dibakar maka akan terjadi penumpukan asetat dalam darah yang menyebabkan keasaman darah meningkat atau asidosis. Zat ini akan meracuni tubuh bila terlalu banyak hingga tubuh berusaha mengeluarkan melalui urine dan pernapasan, akibatnya bau urine dan napas penderita berbau aseton atau bau buah-buahan. Keadaan asidosis ini apabila tidak segera diobati akan terjadi koma yang disebut koma diabetik (Price,1995).

F. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dari Diabetes Mellitus (Mansjoer dkk, 1999) adalah
a) Akut
1) Hipoglikemia dan hiperglikemia
2) Penyakit makrovaskuler : mengenai pembuluh darah besar, penyakit jantung koroner (cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah kapiler).
3) Penyakit mikrovaskuler, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati, nefropati.
4) Neuropati saraf sensorik (berpengaruh pada ekstrimitas), saraf otonom berpengaruh pada gastro intestinal, kardiovaskuler (Suddarth and Brunner, 1990).
b) Komplikasi menahun Diabetes Mellitus
1) Neuropati diabetik
2) Retinopati diabetik
3) Nefropati diabetik
4) Proteinuria
5) Kelainan koroner
6) Ulkus/gangren (Soeparman, 1987, hal 377)
Terdapat lima grade ulkus diabetikum antara lain:
(a) Grade 0 : tidak ada luka
(b) Grade I : kerusakan hanya sampai pada permukaan kulit
(c) Grade II : kerusakan kulit mencapai otot dan tulang
(d) Grade III : terjadi abses
(e) Grade IV : Gangren pada kaki bagian distal
(f) Grade V : Gangren pada seluruh kaki dan tungkai bawah distal
.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Glukosa darah sewaktu
2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi glukosa
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Blm pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
• Plasma Vena
• Darah Kapiler
<180>200
>200
>126
Kadar glukosa darah puasa
• Plasma Vena
• Darah Kapiler <90>110

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

H. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa terjadi hipoglikemia dan gangguan series pada pola aktivitas pasien.
Ada lima konponen dalam penatalaksanaan DM, yaitu:
a. Diet
Syarat diet DM hendaknya dapat:
1) Memperbaiki kesehatan umum penderita
2) Mengarahkan pada berat badan normal
3) Menormalkan pertumbuhan DM anak dan DM dewasa muda
4) Mempertahankan kadar KGD normal
5) Menekan dan menunda timbulnya penyakit angiopati diabetik
6) Memberikan modifikasi diit sesuai dengan keadaan penderita.
7) Menarik dan mudah diberikan
Prinsip diet DM, adalah:
1) Jumlah sesuai kebutuhan
2) Jadwal diet ketat
3) Jenis: boleh dimakan/tidak
Diit DM sesuai dengan paket-paket yang telah disesuaikan dengan kandungan kalorinya.
1) Diit DM I : 1100 kalori
2) Diit DM II : 1300 kalori
3) Diit DM III : 1500 kalori
4) Diit DM IV : 1700 kalori
5) Diit DM V : 1900 kalori
6) Diit DM VI : 2100 kalori
7) Diit DM VII : 2300 kalori
8) Diit DM VIII : 2500 kalori
Diit I s/d III : diberikan kepada penderita yang terlalu gemuk
Diit IV s/d V : diberikan kepada penderita dengan berat badan normal
Diit VI s/d VIII : diberikan kepada penderita kurus. Diabetes remaja, atau diabetes komplikasi,
Dalam melaksanakan diit diabetes sehari-hari hendaklah diikuti pedoman 3 J yaitu:
J I : jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi atau ditambah
J II : jadwal diit harus sesuai dengan intervalnya.
J III : jenis makanan yang manis harus dihindari
Penentuan jumlah kalori Diit Diabetes Mellitus harus disesuaikan oleh status gizi penderita, penentuan gizi dilaksanakan dengan menghitung Percentage of relative body weight (BBR= berat badan normal) dengan rumus:
BB (Kg)
BBR = X 100 %
TB (cm) – 100
1) Kurus (underweight) : BBR <> 110 %
4) Obesitas, apabila : BBR > 120 %
- Obesitas ringan : BBR 120 – 130 %
- Obesitas sedang : BBR 130 – 140 %
- Obesitas berat : BBR 140 – 200 %
- Morbid : BBR > 200 %
Sebagai pedoman jumlah kalori yang diperlukan sehari-hari untuk penderita DM yang bekerja biasa adalah:
1) kurus : BB X 40 – 60 kalori sehari
2) Normal : BB X 30 kalori sehari
3) Gemuk : BB X 20 kalori sehari
4) Obesitas : BB X 10-15 kalori sehari
b. Latihan
Beberapa kegunaan latihan teratur setiap hari bagi penderita DM, adalah:
1) Meningkatkan kepekaan insulin (glukosa uptake), apabila dikerjakan setiap 1 ½ jam sesudah makan, berarti pula mengurangi insulin resisten pada penderita dengan kegemukan atau menambah jumlah reseptor insulin dan meningkatkan sensitivitas insulin dengan reseptornya.
2) Mencegah kegemukan apabila ditambah latihan pagi dan sore
3) Memperbaiki aliran perifer dan menambah supply oksigen
4) Meningkatkan kadar kolesterol-high density lipoprotein
5) Kadar glukosa otot dan hati menjadi berkurang, maka latihan akan dirangsang pembentukan glikogen baru
6) Menurunkan kolesterol (total) dan trigliserida dalam darah karena pembakaran asam lemak menjadi lebih baik.
c. Penyuluhan
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) merupakan salah satu bentuk penyuluhan kesehatan kepada penderita DM, melalui bermacam-macam cara atau media misalnya: leaflet, poster, TV, kaset video, diskusi kelompok, dan sebagainya.
d. Obat
1) Tablet OAD (Oral Antidiabetes)
a) Mekanisme kerja sulfanilurea
(1) kerja OAD tingkat prereseptor : pankreatik, ekstra pancreas
(2) kerja OAD tingkat reseptor
b) Mekanisme kerja Biguanida
Biguanida tidak mempunyai efek pankreatik, tetapi mempunyai efek lain yang dapat meningkatkan efektivitas insulin, yaitu:
(1) Biguanida pada tingkat prereseptor  ekstra pankreatik
- Menghambat absorpsi karbohidrat
- Menghambat glukoneogenesis di hati
- Meningkatkan afinitas pada reseptor insulin
(2) Biguanida pada tingkat reseptor : meningkatkan jumlah reseptor insulin
(3) Biguanida pada tingkat pascareseptor : mempunyai efek intraseluler
 Insulin
Indikasi penggunaan insulin
(1) DM tipe I
(2) DM tipe II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan OAD
(3) DM kehamilan
(4) DM dan gangguan faal hati yang berat
(5) DM dan infeksi akut (selulitis, gangren)
(6) DM dan TBC paru akut
(7) DM dan koma lain pada DM
(8) DM operasi
(9) DM patah tulang
(10) DM dan underweight
(11) DM dan penyakit Graves
e. Cangkok pankreas
Pendekatan terbaru untuk cangkok pancreas adalah segmental dari donor hidup saudara kembar identik (Tjokroprawiro, 1992).

Sabtu, 27 Maret 2010

Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD)

Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD) atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah: bronchitis kronis, emfisema paru dan asthma bronchiale.
Sering juga penyakit ini disebut dengan “Chronic Airflow Limitation (CAL)” dan “Chronic Obstructive Lung Diseases (COLD)".

A. ASTHMA BRONCHIALE
1. Definisi
Asthma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial yang mempunyai ciri bronchospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asthma merupakan penyakit yang kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biochemical, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi.

2. Tipe Asthma
Asthma terbagi menjadi beberapa macam, antara lain:
a. Asthma Alergik /Ekstrinsik
Merupakan suatu bentuk asthma dengan penyebab allergen (misalnya bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan dll). Allergen terbanyak adalah airborne dan seasonal (musiman). Pasien dengan asthma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan exzema atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asthma. Bentuk asthma ini biasanya dimulai saat kanak-kanak.
b. Idiopathic atau Nonallergic Asthma/Intrinsik
Tidak berhubungan secara langsung dengan allergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi saluran nafas atas, kegiatan, emosi dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan. Beberapa agent pharmakologi, beta-adrenergic antagonist dan agent sulfite (penyedap makanan) juga dapat sebagai faktor. Serangan dari asthma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan seringkali dengan berjalannya waktu dan dapat berkembang menjadi bronchitis dan emfisema. Beberapa pasien berkembang menjadi asthma campuran. Bentuk asthma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (>35 tahun).
c. Asthma Campuran (Mixed Asthma)
Merupakan bentuk asthma yang paling sering. Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asthma alergi dan idiopatik atau nonalergi.

3. Etiologi
Sampai saat ini etiologi asthma belum diketahui dengan pasti, suatu hal yang menonjol pada semua penderita asthma adalah fenomena hiperreaktivitas bronchus. bronchus penderita asthma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non-imunologi. Karena sifat inilah maka serangan asthma mudah terjadi akibat berbagai rangsangan baik fisis, metabolik, kimia, alergen, infeksi dan sebagainya. Rangsangan atau pencetus yang sering menimbulkan asthma perlu diketahui dan sedapat mungkin dihindarkan.
Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Alergen utama: debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan
b. Iritan seperti asap, bau-bauan, pollutan
c. Infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus
d. Perubahan cuaca yang ekstrim.
e. Kegiatan jasmani yang berlebihan.
f. Lingkungan kerja
g. Obat-obatan.
h. Emosi
i. Lain-lain: seperti reflux gastro esofagus.

4. Gambaran Klinis
Gejala asthma terdiri dari triad: dispnea, batuk dan mengi, gejala yang disebutkan terakhir sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (“sine qua non”).
Objektif:
· Sesak nafas yang berat dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing.
· Dapat disertai batuk dengan sputum kental, sulit dikeluarkan.
· Bernafas dengan menggunakan otot-otot nafas tambahan
· Cyanosis, tachicardia, gelisah, pulsus paradoksus.
· Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apex dan hilus)
Subjektif:
· Klien merasa sukar bernafas, sesak, anoreksia.
Psikososial:
· Cemas, takut dan mudah tersinggung
· Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnya.

5. Patofisiologi
Asthma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh limfosit T dan B dan diaktifkan oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar alergen yang mencetuskan asthma bersifat airborne dan supaya dapat menginduksi keadaan sensitivitas, alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah banyak untuk periode waktu tertentu. Akan tetapi sekali sensitisasi telah terjadi pasien akan memperlihatkan respon yang sangat baik sehingga sejumlah kecil alergen yang mengganggu sudah dapat menghasilkan eksaserbasi penyakit yang jelas.
Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode akut asthma adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis beta-adrenergik dan bahan sulfat. Sindroma pernafasan sensitif-aspirin khusus terutama mengenai orang dewasa, walaupun keadaan ini juga dapat dilihat pada masa kanak-kanak. Masalah ini biasanya berawal dari rhinitis vasomotor perennial yang diikuti oleh rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal. Baru kemudian muncul asthma progresif.
Pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat didesentisasi dengan pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani bentuk terapi ini, toleransi silang juga akan terbentuk terhadap agen anti-inflamasi non-steroid lain. Mekanisme dengan aspirin dan obat lain dapat menyebabkan bronkospasme tidak diketahui tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan leukotrien yang diinduksi secara khusus oleh aspirin.
Antagonis beta-adrenergik biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas pada pasien asthma demikian juga dengan pasien lain dengan peningkatan reaktifitas jalan nafas dan harus dihindarkan pada pasien ini. Obat sulfat, seperti kalium metabisulfit, kalium dan natrium bisulfit, natrium sulfit dan sulfat klorida, yang secara luas digunakan dalam industri makanan dan farmasi sebagai agen sanitasi dan pengawet juga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas akut pada pasien yang sensitif. Pajanan biasanya terjadi setelah menelan makanan atau cairan yang mengandung senyawa ini. Misalnya: salad, buah segar, kentang, kerang dan anggur.
Pencetus-pencetus serangan di atas ditambah cetusan lainnya dari internal pasien akan mengakibatkan timbulnya reaksi antigen dan antibodi yang mengakibatan dikeluarkan substansi pereda alergi yang sebetulnya merupakan mekanisme tubuh dalam menghadapi serangan yang dapat berupa dikeluarkannya histamin, bradikinin dan anafilatoksin. Hasil dari hal tersebut timbul 3 gejala yaitu berkontraksinya otot polos, peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan sekresi mukus seperti terlihat pada bagan berikut ini:
Skema: Patofisiologi Asthma Bronchiale

Untuk melihat derajat beratnya asthma biasanya dilakukan pemeriksaan secara komprehensif dengan menggunakan alat ukur seperti pada tabel berikut:

Tabel: Pengkajian untuk menentukan beratnya Asthma


Tabel: Perubahan dalam Arteri Blood Gas yang berhubungan dengan Asthma

6. Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip penatalaksanaan asthma bronchial:
a. Diagnosis status asmatikus. Faktor penting yang harus diperhatikan:
-Saatnya serangan
-Obat-obatan yang telah diberikan (macam dan dosis)
b. Pemberian obat bronchodilator.
c. Penilaian terhadap perbaikan serangan.
d. Pertimbangan terhadap pemberian kortikosteroid.
e. Setelah serangan mereda:
-Cari faktor penyebab.
-Modifikasi pengobatan penunjang selanjutnya.

7. Obat-Obatan
a. Bronchodilator
Tidak digunakan bronchodilator oral, tetapi dipakai secara inhalasi atau parenteral. Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan simpatomimetik, maka sebaiknya diberikan Aminophilin secara parenteral sebab mekanisme yang berlainan, demikian sebaliknya, bila sebelumnya telah digunakan obat golongan Teofilin oral maka sebaiknya diberikan obat golongan simpatomimetik secara aerosol atau parenteral.
Obat-obatan bronchodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terhadap adrenoreseptor (Orsiprendlin, Salbutamol, Terbutalin, Ispenturin, Fenoterol) mempunyai sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping kecil dibandingkan dengan bentuk non-selektif (Adrenalin, Efedrin, Isoprendlin)
· Obat-obat bronchodilatator serta aerosol bekerja lebih cepat dan efek samping sistemik lebih kecil. Baik digunakan untuk sesak nafas berat pada anak-anak dan dewasa. Mula-mula diberikan 2 sedotan dari Metered Aerosol Defire (Afulpen Metered Aerosol). Jika menunjukkan perbaikan dapat diulang tiap 4 jam, jika tidak ada perbaikan sampai 10-15 menit berikan Aminophilin intravena.
· Obat-obat Bronchodilatator simpatomimetik memberi efek samping tachicardia, penggunaan parenteral pada orang tua harus hati-hati, berbahaya pada penyakit hipertensi, kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Pada dewasa dicoba dengan 0,3 ml larutan epinefrin 1 : 1000 secara subkutan. Anak-anak 0,01 mg/Kg BB subkutan (1 mg permil) dapat diulang tiap 30 menit untuk 2–3x sesuai kebutuhan.
· Pemberian Aminophilin secara intravena dosis awal 5 – 6 mg/Kg BB dewasa/anak-anak, disuntikkan perlahan dalam 5-10 menit. Untuk dosis penunjang 0,9 mg/KgBB/Jam secara infus. Efek sampingnya tekanan darah menurun bila dilakukan tidak secara perlahan.
b. Kortikosteroid
Pemberian obat–obat bronchodilatator tidak menunjukkan perbaikan, dilanjutkan dengan pengobatan kortikosteroid 200 mg hidrokortison secara oral atau dengan dosis 3 – 4 mg/Kg BB intravena sebagai dosis permulaan dan dapat diulang 2 – 4 jam secara parenteral sampai serangan akut terkontrol, dengan diikuti pemberian 30 – 60 mg prednison atau dengan dosis 1 – 2 mg/Kg BB/hari secara oral dalam dosis terbagi, kemudian dosis dikurangi secara bertahap.
c. Pemberian Oksigen
Melalui kanul hidung dengan kecepatan aliran O2 2-4 liter/menit dan dialirkan melalui air untuk memberikan kelembaban. Obat ekspektoran seperti Gliserolguaiakolat dapat juga digunakan untuk memperbaiki dehidrasi, maka intake cairan peroral dan infus harus cukup, sesuai dengan prinsip rehidrasi, antibiotik diberikan bila ada infeksi.
d. Beta Agonists
Beta agonists (b-adrenergic agents) merupakan pengobatan awal yang digunakan dalam pengobatan asthma dikarenakan obat ini bekerja dengan jalan mendilatasikan otot polos. Adrenergic Agent juga meningkatkan pergerakan cilliary, menurunkan mediator kimia anaphylaxis dan dapat meningkatkan efek broncholasi dari kortikosteroid. Agent adrenergic yang sering digunakan antara lain epinephrine, albuterol, metaproterenol, isoproterenol, isoetharine dan terbutaline. Biasanya diberikan secara parenteral atau inhalasi. Jalan inhalasi merupakan jalan pilihan dikarenakan dapat mempengaruhi secara langsung dan mempunyai efek samping yang lebih kecil.


B. BRONCHITIS KRONIS
1. Definisi
Bronchitis akut adalah radang mendadak pada bronchus yang biasanya mengenai trachea dan laring, sehingga sering dinamai juga dengan “laringotracheobronchitis”. Radang ini dapat timbul sebagai kelainan jalan nafas tersendiri atau sebagai bagian dari penyakit sistemik, misalnya pada morbili, pertusis, difteri dan typhus abdominalis.
Istilah bronchitis kronis menunjukkan kelainan pada bronchus yang sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari luar bronchus maupun dari bronchus itu sendiri, merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus takeobronkial yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.
Bronchitis kronis bukanlah merupakan bentuk menahun dari bronchitis akut. Walaupun demikian, pada perjalanan penyakit bronchitis kronis dapat ditemukan periode akut, yang menunjukkan adanya serangan bakteri pada dinding bronchus yang tidak normal. Infeksi sekunder oleh bakteri ini menimbulkan kerusakan yang lebih banyak sehingga akan memperburuk keadaan.

2. Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu:
a. Infeksi: stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.
b. Alergi
c. Rangsang: misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll.
Bronchitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik yang mengenai beberapa alat tubuh, yaitu:
a. Penyakit Jantung Menahun, baik pada katup maupun myocardium. Kongesti menahun pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
b. Infeksi sinus paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat menyerang dinding bronchus.
c. Dilatasi Bronchus (Bronchiectasi), menyebabkan gangguan susunan dan fungsi dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
d. Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronchus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.

3. Patofisiologi
Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul kembali sebagai eksaserbasi akut dari bronchitis kronis. Pada infeksi saluran nafas bagian atas, biasanya virus, seringkali merupakan awal dari serangan bronchitis akut. Dokter akan mendiagnosa bronchitis kronis jika klien mengalami batuk atau produksi sputum selama beberapa hari + 3 bulan dalam 1 tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut.
Bronchitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan terhadap agent infeksi maupun non-infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan bronchospasme. Tidak seperti emfisema, bronchitis lebih mempengaruhi jalan nafas kecil dan besar dibandingkan pada alveolinya. Aliran udara dapat atau mungkin juga tidak mengalami hambatan.
Klien dengan bronchitis kronis akan mengalami:
a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang mana akan meningkatkan produksi mukus.
b. Mukus lebih kental
c. Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus.
Oleh karena itu, “mucocilliary defence” dari paru mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan meningkat. Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.
Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hipoxia dan asidosis. Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO2. Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit).
Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary. Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hipoxemia akan timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF.

4. Manifestasi Klinik
a. Penampilan umum: cenderung overweight, cyanosis akibat pengaruh sekunder polisitemia, edema (akibat CHF kanan), barrel chest.
b. Usia: 45 – 65 tahun
c. Pengkajian:
- Batuk persisten, produksi sputum seperti kopi, dyspnea dalam beberapa keadaan, variabel wheezing pada saat ekspirasi, sering infeksi pada sistem respirasi
- Gejala biasanya timbul pada waktu yang lama
d. Jantung: pembesaran jantung, Cor Pulmonal, Hematokrit > 60%
e. Riwayat merokok +

5. Management Medis
Pengobatan yang utama ditujukan untuk mencegah dan mengontrol infeksi dan meningkatkan drainase bronchial menjadi jernih. Pengobatan yang diberikan:
a. Antimikrobial
b. Postural Drainage
c. Bronchodilator
d. Aerosolized Nebulizer
e. Surgical Intervention


C. EMFISEMA PARU
1. Definisi
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (WHO).
Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang
udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai “overinflation”.

2. Patogenesis
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema, yaitu :
a. Hilangnya elastisitas paru
Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli dan saluran nafas kecil dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung alveolar kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit. Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi membesar.
b. Hyperinflation paru
Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi istirahat normal selama ekspirasi.
c. Terbentuknya bullae
Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray.
d. Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap
Ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorak akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas.

3. Tipe Emfisema
Terdapat tiga tipe dari emfisema:
a. Emfisema Centriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul, menghasilkan kerusakan bronchiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronchiolus tetapi biasanya kantung alveolar tetap bersisa.
b. Emfisema Panlobular (Panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, timbul sangat sering pada seorang perokok.
c. Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin.
Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner, seringkali timbul Cor Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.

4. Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada dinding alveolar, yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) diantara alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan kehilangan elastisitas recoil. Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan diantara ruang alveolar (disebut blebs) dan diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada “dead space” atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah.
Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok.

5. Mekanisme Penyakit

Gambar: Mekanisme Timbulnya Emfisema
(Sumber : Price, S.A., & Wilson, L.M., 1996)

6. Manifestasi Klinik
a. Penampilan Umum
· Kurus, warna kulit pucat, flattened hemidiafragma
· Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium akhir
b. Usia 65 – 75 tahun
c. Pengkajian fisik
· Nafas pendek persisten dengan peningkatan dyspnea
· Infeksi sistem respirasi
· Pada auskultasi terdapat penurunan suara nafas meskipun dengan nafas dalam
· Wheezing ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas
· Produksi sputum dan batuk jarang
d. Pemeriksaan jantung
· Tidak terjadi pembesaran jantung. Cor pulmonal timbul pada stadium akhir
· Hematokrit < style="color: rgb(0, 0, 0);">

7. Medical Management
Penatalaksanaan utama pada klien emfisema adalah untuk meningkatkan kualitas hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit dan mengobati obstruksi saluran nafas yang berguna untuk mengatasi hipoxia. Pendekatan terapi mencakup :
· Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja nafas.
· Mencegah dan mengobati infeksi
· Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru
· Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi pernafasan.
· Support psikologis
· Patient education and rehabilitation.
Jenis obat yang diberikan :
· Bronchodilators
· Aerosol therapy
· Treatment of infection
· Corticosteroids
· Oxygenation


D. PENGKAJIAN DIAGNOSTIK COPD
1. Chest X-Ray: dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)
2. Pemeriksaan Fungsi Paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal: bronchodilator.
3. TLC: meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada emfisema.
4. Kapasitas Inspirasi: menurun pada emfisema
5. FEV1/FVC: ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.
6. ABGs: menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).
7. Bronchogram: dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
8. Darah Komplit: peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma).
9. Kimia Darah: alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema primer.
10. Sputum Kultur: untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
11. ECG: deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema).
12. Exercise ECG, Stress Test: menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.


E. KOMPLIKASI COPD
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%.> penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain: nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.




Posting_By:
Ardian Dwi Ananta
04.07.1656
C/KP/VI