Gambaran klinis yang sering muncul atau tampak pada bayi adalah timbul gejala kuning yang umumnya muncul antara hari ke-2 sampai hari ke-5.
"Gejala kuning ini ditandai dengan meningkatnya kadar bilirubin indirek di dalam darah. Jika gejala yang muncul ringan mungkin bayi tidak memerlukan pengobatan khusus, cukup dengan menjemur di bawah sinar matahari pagi atau hanya perlu terapi sinar biru (blue light) di rumah sakit," jelas Lia.
Kalau berat, biasanya kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dl atau timbul tanda-tanda keracunan bilirubin antara lain yaitu kejang. Jika terjadi demikian maka harus dilakukan tindakan transfusi tukar. Tindakan ini diperlukan untuk membuang bilirubin indirek yang toksik dalam tubuh bayi tadi. Karena zat dalam jumlah tertentu ini dapat melewati sawar otak dan merusak sel-sel otak tersebut.
Sekali otak terkena, sel-sel otak akan rusak dan tidak bisa digantikan. Akibatnya di kemudian hari, akan terjadi suatu kecacatan pada anak, semisal tuli atau perkembangan intelektualnya jadi kurang sempurna.
HINGGA DEWASA
Untuk mengetahui apakah seorang bayi/anak menderita kekurangan enzim G-6-PD harus dilakukan pemeriksaan darah, yaitu dengan mengukur kadar enzim tersebut di dalam sel darah merahnya. Sayangnya, pemeriksaan terhadap enzim ini belum jadi pemeriksaan rutin yang dilakukan pada setiap bayi baru lahir. Mungkin, dikarenakan biaya yang relatif mahal dan belum dianggap penting.
Pada anak-anak yang usianya lebih besar, gejala yang timbul akibat kekurangan enzim ini biasanya lebih ringan. Biasanya ditandai dengan munculnya tanda-tanda biru pada anggota tubuh yang tiba-tiba dan tidak diketahui jelas penyebabnya. Orang biasanya mengatakan gejala yang timbul tersebut akibat "dijilat setan".
Gejala ini bisa timbul kapan saja, terutama bila daya tahan anak sedang turun, misalnya sedang menderita flu atau mengkonsumsi obat-obatan yang menyebabkan sel darah merah yang rentan itu pecah.
FAKTOR TURUNAN
Kekurangan enzim G-6-PDini diturunkan secara genetik oleh si ibu atau diturunkan secara x-linked. Ibu bisa menurunkan kekurangan enzim ini pada anak laki-lakinya maupun anak perempuannya. Jadi, anak laki-laki dan perempuan yang dilahirkan, bisa normal, bisa juga terkena."Ibu yang mengalami kekurangan enzim G-6-PD biasanya ditandai dengan bila akan mengalami menstruasi tubuhnya suka tampak biru-biru tanpa sebab."
Selain faktor genetik, juga diduga karena faktor lingkungan dan budaya juga sangat memegang peranan penting, seperti penggunaan kapur barus dan minum jamu. Kekurangan enzim ini pun ditemui pada beberapa ras tertentu. Meski tidak jelas juga penyebabnya mengapa hal ini bisa terjadi. "Ada beberapa ras, misalnya ras Afrika yang tinggal di Amerika, lebih sedikit yang ditemui kekurangan enzim G-6-PD dibandingkan orang Afrika yang tinggal di negaranya sendiri. Defisiensi enzim ini ditemukan pula di daerah sekitar Yunani, Afrika Barat, Amerika Utara, Cina, dan Asia Tenggara, seperti Thailand, Filipina, dan Singapura. Umumnya banyak ditemui pada ras Cina."
Karena merupakan faktor turunan atau genetik, menurut Lia, tidak bisa disuplai dengan pengobatan dari luar. "Jadi, tidak ada pengobatannya. Yang bisa dilakukan hanya harus menghindari zat atau bahan-bahan yang dapat memicu terjadinya hemolisis atau pecahnya sel darah merah," jelas Lia.
Nah,kalau biasanya para ibu yang baru punya bayi senang menaruh kamper/kapur barusdi lemari pakaian anaknya agar tetap wangi, sebaiknya hentikan kebiasaan itu. Karena ada senyawa dalam kapur barus tersebut yang jika bayi menderita kekurangan enzim G-6-PD menghirup udara kamper, sel darah merahnya rentan dan dapat memicu pecahnya sel darah merah tersebut.
Selain itu, hindari pula pajanan obat golongan antimalaria, golongan asam salisilat, golongan sulfa dan jamu-jamuan yang diminum si ibu, dan juga vitamin C dosis tinggi. Bila bayi sudah agak besar, biasanya dokter akan memberikan daftar mengenai obat-obatan apa saja yang boleh dan tidak boleh digunakan. "Sebaiknya ibu melaminatingnya dan menaruh di dompet. Sehingga kalau terjadi sesuatu, Ibu bisa mengetahui bahan-bahan apa saja yang tidak boleh diberikan."
Dedeh Kurniasih
RAGAM TERAPI UNTUK BAYI KUNING
P enelitian menunjukkan sekitar 70 persen bayi baru lahir mengalami kuning. Meskipun dikategorikan wajar, orang tua tetap harus waspada.
"Bayi ibu kuning? Alaaa itu biasa, kok. Jemur saja di bawah sinar matahari tiap pagi. Nanti juga baik sendiri." Saran seperti itu kerap diberikan kepada ibu bila bayi yang baru dilahirkannya dinyatakan kuning. Cara mengetahui kadar bilirubin bayi baru lahir adalah dengan pemantauan. Bayi "kuning", yang dalam istilah medis disebut ikterus neonatus, terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah hingga melebihi ambang batas normal. Gejalanya, kulit dan bagian putih mata bayi tampak kuning tapi suhu badannya normal. Namun, tidak semua bayi kuning bisa diobati hanya dengan menjemurnya di bawah sinar matahari pagi. Ada juga yang perlu dirawat inap di rumah sakit untuk menjalani beberapa terapi. Menurut dr. Dewi Murniati, Sp.A., rekomendasi dirawat inap akan diberikan bila bayi terdeteksi memiliki kadar bilirubin di atas ambang normal. Mengapa sinar matahari yang merupakan sinar ultra-violet dianggap kurang efektif? Padahal sinar ini memang bisa membantu memecahkan kadar bilirubin dalam darah bayi. Seperti diketahui sinar surya yang efektif untuk mengurangi kadar bilirubin adalah saat jam 07.00 sampai 09.00. Ini berarti bayi tak bisa sepanjang waktu disinari, sehingga penurunan kadar bilirubinnya akan lama. Cuaca yang mendung bahkan hujan juga dapat mengganggu proses penyinaran. Selain itu, merawat bayi kuning di rumah berisiko terhadap keterlambatan deteksi peningkatan kadar bilirubin. Beda kalau bayi dirawat di rumah sakit, ia akan terpantau oleh dokter dari waktu ke waktu. KAPAN BAYI DINYATAKAN KUNING Untuk bayi yang lahir cukup bulan, batas aman kadar bilirubinnya adalah 12,5 mg/dl (miligram perdesiliter darah). Sedangkan bayi yang lahir kurang bulan, batas aman kadar bilirubinnya adalah 10 mg/dl. "Jika kemudian kadar bilirubin diketahui melebihi angka-angka tersebut, maka ia dikategorikan hiperbilirubin," papar Dewi. Lalu bagaimana bayi baru lahir bisa mengalami hiperbilirubin? Bilirubin merupakan zat hasil pemecahan hemoglobin (protein sel darah merah yang memungkinkan darah mengangkut oksigen). Hemoglobin terdapat dalam eritrosit (sel darah merah) yang dalam waktu tertentu selalu mengalami destruksi (pemecahan). Proses pemecahan tersebut menghasilkan hemeglobin menjadi zat heme dan globin. Dalam proses berikutnya, zat-zat ini akan berubah menjadi bilirubin bebas atau indirect. Dalam kadar tinggi bilirubin bebas ini bersifat racun; sulit larut dalam air dan sulit dibuang. Untuk menetralisirnya, organ hati akan mengubah bilirubin indirect menjadi direct yang larut dalam air. Masalahnya, organ hati sebagian bayi baru lahir belum dapat berfungsi optimal dalam mengeluarkan bilirubin bebas tersebut. Barulah setelah beberapa hari, organ hati mengalami pematangan dan proses pembuangan bilirubin bisa berlangsung lancar. Masa "matang" organ hati pada setiap bayi tentu berbeda-beda. Namun umumnya, pada hari ketujuh organ hati mulai bisa melakukan fungsinya dengan baik. Itulah mengapa, setelah berumur 7 hari rata-rata kadar bilirubin bayi sudah kembali normal. Tapi ada juga yang menyebutkan organ hati mulai bisa berfungsi pada usia 10 hari. RAGAM TERAPI Jika setelah tiga-empat hari kelebihan bilirubin masih terjadi, maka bayi harus segera mendapatkan terapi. Bentuk terapi ini macam-macam, disesuaikan dengan kadar kelebihan yang ada. Berikut penjelasan dari Dewi yang berpraktek di RSIA Hermina Daan Mogot, Jakarta. 1.Terapi Sinar (fototerapi) Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang lebih fatal. Sinar yang digunakan pada fototerapi berasal dari sejenis lampu neon dengan panjang gelombang tertentu. Lampu yang digunakan sekitar 12 buah dan disusun secara paralel. Di bagian bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flexy glass yang berfungsi meningkatkan energi sinar sehingga intensitasnya lebih efektif. Sinar yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi. Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup dengan menggunakan kain kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari lampu-lampu tersebut. Seperti diketahui, pertumbuhan mata bayi belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan merusak bagian retinanya. Begitu pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi risiko terhadap organ reproduksi itu, seperti kemandulan. Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-ubah; telentang lalu telungkup agar penyinaran berlangsung merata. Dokter akan terus mengontrol apakah kadar bilirubinnya sudah kembali normal atau belum. Jika sudah turun dan berada di bawah ambang batas bahaya, maka terapi bisa dihentikan. Rata-rata dalam jangka waktu dua hari si bayi sudah boleh dibawa pulang. Meski relatif efektif, tetaplah waspada terhadap dampak fototerapi. Ada kecenderungan bayi yang menjalani proses terapi sinar mengalami dehidrasi karena malas minum. Sementara, proses pemecahan bilirubin justru akan meningkatkan pengeluarkan cairan empedu ke organ usus. Alhasil, gerakan peristaltik usus meningkat dan menyebabkan diare. Memang tak semua bayi akan mengalaminya, hanya pada kasus tertentu saja. Yang pasti, untuk menghindari terjadinya dehidrasi dan diare, orang tua mesti tetap memberikan ASI pada si kecil. 2.Terapi Transfusi Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfusi darah. Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus). Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan perkembangan. Misalnya keterbelakangan mental, cerebral palsy, gangguan motorik dan bicara, serta gangguan penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, darah bayi yang sudah teracuni akan dibuang dan ditukar dengan darah lain. Proses tukar darah akan dilakukan bertahap. Bila dengan sekali tukar darah, |
Penyebab timbulnya kuning, menurut dokter yang kerap dipanggil Lia ini, tergantung banyak faktor. Bisa merupakan suatu proses yang fisiologis. Bisa karena adanya perbedaan golongan darah dengan si ibu. Misalnya, ibunya bergolongan darah O dan bayinya non O. Kuning juga bisa akibat suatu proses hemolisis, yaitu sel darah merah yang pecah akibat suatu hal antara lain akibat kekurangan enzim G-6-PD.
BISA CACAT
Sedangkan yang dimaksud dengan enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G-6-PD) adalah suatu enzim yang dibutuhkan oleh suatu rangkaian reaksi yang berfungsi menghasilkan sumber energi bagi sel darah merah (eritrosit) untuk melakukan metabolismenya.
Sumber energi ini sangat penting untuk menjaga sel darah merah dari kerusakan akibat pengaruh oksidasi luar. Sehingga bila sel darah merah kekurangan enzim G-6-PD ini, ia akan mengalami kekurangan energi sehingga sel darah merah akan mudah pecah atau rusak akibat pengaruh oksidasi dari luar.
Gambaran klinis yang sering muncul atau tampak pada bayi adalah timbul gejala kuning yang umumnya muncul antara hari ke-2 sampai hari ke-5.
"Gejala kuning ini ditandai dengan meningkatnya kadar bilirubin indirek di dalam darah. Jika gejala yang muncul ringan mungkin bayi tidak memerlukan pengobatan khusus, cukup dengan menjemur di bawah sinar matahari pagi atau hanya perlu terapi sinar biru (blue light) di rumah sakit," jelas Lia.
Kalau berat, biasanya kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dl atau timbul tanda-tanda keracunan bilirubin antara lain yaitu kejang. Jika terjadi demikian maka harus dilakukan tindakan transfusi tukar. Tindakan ini diperlukan untuk membuang bilirubin indirek yang toksik dalam tubuh bayi tadi. Karena zat dalam jumlah tertentu ini dapat melewati sawar otak dan merusak sel-sel otak tersebut.
Sekali otak terkena, sel-sel otak akan rusak dan tidak bisa digantikan. Akibatnya di kemudian hari, akan terjadi suatu kecacatan pada anak, semisal tuli atau perkembangan intelektualnya jadi kurang sempurna.
HINGGA DEWASA
Untuk mengetahui apakah seorang bayi/anak menderita kekurangan enzim G-6-PD harus dilakukan pemeriksaan darah, yaitu dengan mengukur kadar enzim tersebut di dalam sel darah merahnya. Sayangnya, pemeriksaan terhadap enzim ini belum jadi pemeriksaan rutin yang dilakukan pada setiap bayi baru lahir. Mungkin, dikarenakan biaya yang relatif mahal dan belum dianggap penting.
Pada anak-anak yang usianya lebih besar, gejala yang timbul akibat kekurangan enzim ini biasanya lebih ringan. Biasanya ditandai dengan munculnya tanda-tanda biru pada anggota tubuh yang tiba-tiba dan tidak diketahui jelas penyebabnya. Orang biasanya mengatakan gejala yang timbul tersebut akibat "dijilat setan".
Gejala ini bisa timbul kapan saja, terutama bila daya tahan anak sedang turun, misalnya sedang menderita flu atau mengkonsumsi obat-obatan yang menyebabkan sel darah merah yang rentan itu pecah.
FAKTOR TURUNAN
Kekurangan enzim G-6-PDini diturunkan secara genetik oleh si ibu atau diturunkan secara x-linked. Ibu bisa menurunkan kekurangan enzim ini pada anak laki-lakinya maupun anak perempuannya. Jadi, anak laki-laki dan perempuan yang dilahirkan, bisa normal, bisa juga terkena."Ibu yang mengalami kekurangan enzim G-6-PD biasanya ditandai dengan bila akan mengalami menstruasi tubuhnya suka tampak biru-biru tanpa sebab."
Selain faktor genetik, juga diduga karena faktor lingkungan dan budaya juga sangat memegang peranan penting, seperti penggunaan kapur barus dan minum jamu. Kekurangan enzim ini pun ditemui pada beberapa ras tertentu. Meski tidak jelas juga penyebabnya mengapa hal ini bisa terjadi. "Ada beberapa ras, misalnya ras Afrika yang tinggal di Amerika, lebih sedikit yang ditemui kekurangan enzim G-6-PD dibandingkan orang Afrika yang tinggal di negaranya sendiri. Defisiensi enzim ini ditemukan pula di daerah sekitar Yunani, Afrika Barat, Amerika Utara, Cina, dan Asia Tenggara, seperti Thailand, Filipina, dan Singapura. Umumnya banyak ditemui pada ras Cina."
Karena merupakan faktor turunan atau genetik, menurut Lia, tidak bisa disuplai dengan pengobatan dari luar. "Jadi, tidak ada pengobatannya. Yang bisa dilakukan hanya harus menghindari zat atau bahan-bahan yang dapat memicu terjadinya hemolisis atau pecahnya sel darah merah," jelas Lia.
Nah,kalau biasanya para ibu yang baru punya bayi senang menaruh kamper/kapur barusdi lemari pakaian anaknya agar tetap wangi, sebaiknya hentikan kebiasaan itu. Karena ada senyawa dalam kapur barus tersebut yang jika bayi menderita kekurangan enzim G-6-PD menghirup udara kamper, sel darah merahnya rentan dan dapat memicu pecahnya sel darah merah tersebut.
Selain itu, hindari pula pajanan obat golongan antimalaria, golongan asam salisilat, golongan sulfa dan jamu-jamuan yang diminum si ibu, dan juga vitamin C dosis tinggi. Bila bayi sudah agak besar, biasanya dokter akan memberikan daftar mengenai obat-obatan apa saja yang boleh dan tidak boleh digunakan. "Sebaiknya ibu melaminatingnya dan menaruh di dompet. Sehingga kalau terjadi sesuatu, Ibu bisa mengetahui bahan-bahan apa saja yang tidak boleh diberikan."
Dedeh Kurniasih
Bayi ibu kuning? Alaaa itu biasa, kok. Jemur saja di bawah sinar matahari tiap pagi. Nanti juga baik sendiri." Saran seperti itu kerap diberikan kepada ibu bila bayi yang baru dilahirkannya dinyatakan kuning.
Cara mengetahui kadar bilirubin bayi baru lahir adalah dengan pemantauan. Bayi "kuning", yang dalam istilah medis disebut ikterus neonatus, terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah hingga melebihi ambang batas normal. Gejalanya, kulit dan bagian putih mata bayi tampak kuning tapi suhu badannya normal.
Namun, tidak semua bayi kuning bisa diobati hanya dengan menjemurnya di bawah sinar matahari pagi. Ada juga yang perlu dirawat inap di rumah sakit untuk menjalani beberapa terapi. Menurut dr. Dewi Murniati, Sp.A., rekomendasi dirawat inap akan diberikan bila bayi terdeteksi memiliki kadar bilirubin di atas ambang normal.
Mengapa sinar matahari yang merupakan sinar ultra-violet dianggap kurang efektif? Padahal sinar ini memang bisa membantu memecahkan kadar bilirubin dalam darah bayi. Seperti diketahui sinar surya yang efektif untuk mengurangi kadar bilirubin adalah saat jam 07.00 sampai 09.00. Ini berarti bayi tak bisa sepanjang waktu disinari, sehingga penurunan kadar bilirubinnya akan lama.
Cuaca yang mendung bahkan hujan juga dapat mengganggu proses penyinaran. Selain itu, merawat bayi kuning di rumah berisiko terhadap keterlambatan deteksi peningkatan kadar bilirubin. Beda kalau bayi dirawat di rumah sakit, ia akan terpantau oleh dokter dari waktu ke waktu.
KAPAN BAYI DINYATAKAN KUNING Untuk bayi yang lahir cukup bulan, batas aman kadar bilirubinnya adalah 12,5 mg/dl (miligram perdesiliter darah). Sedangkan bayi yang lahir kurang bulan, batas aman kadar bilirubinnya adalah 10 mg/dl. "Jika kemudian kadar bilirubin diketahui melebihi angka-angka tersebut, maka ia dikategorikan hiperbilirubin," papar Dewi.
Lalu bagaimana bayi baru lahir bisa mengalami hiperbilirubin? Bilirubin merupakan zat hasil pemecahan hemoglobin (protein sel darah merah yang memungkinkan darah mengangkut oksigen). Hemoglobin terdapat dalam eritrosit (sel darah merah) yang dalam waktu tertentu selalu mengalami destruksi (pemecahan). Proses pemecahan tersebut menghasilkan hemeglobin menjadi zat heme dan globin. Dalam proses berikutnya, zat-zat ini akan berubah menjadi bilirubin bebas atau indirect. Dalam kadar tinggi bilirubin bebas ini bersifat racun; sulit larut dalam air dan sulit dibuang. Untuk menetralisirnya, organ hati akan mengubah bilirubin indirect menjadi direct yang larut dalam air. Masalahnya, organ hati sebagian bayi baru lahir belum dapat berfungsi optimal dalam mengeluarkan bilirubin bebas tersebut. Barulah setelah beberapa hari, organ hati mengalami pematangan dan proses pembuangan bilirubin bisa berlangsung lancar.
Masa "matang" organ hati pada setiap bayi tentu berbeda-beda. Namun umumnya, pada hari ketujuh organ hati mulai bisa melakukan fungsinya dengan baik. Itulah mengapa, setelah berumur 7 hari rata-rata kadar bilirubin bayi sudah kembali normal. Tapi ada juga yang menyebutkan organ hati mulai bisa berfungsi pada usia 10 hari.
RAGAM TERAPI
Jika setelah tiga-empat hari kelebihan bilirubin masih terjadi, maka bayi harus segera mendapatkan terapi. Bentuk terapi ini macam-macam, disesuaikan dengan kadar kelebihan yang ada. Berikut penjelasan dari Dewi yang berpraktek di RSIA Hermina Daan Mogot, Jakarta.
1.Terapi Sinar (fototerapi) Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang lebih fatal.
Sinar yang digunakan pada fototerapi berasal dari sejenis lampu neon dengan panjang gelombang tertentu. Lampu yang digunakan sekitar 12 buah dan disusun secara paralel. Di bagian bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flexy glass yang berfungsi meningkatkan energi sinar sehingga intensitasnya lebih efektif.
Sinar yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi. Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup dengan menggunakan kain kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari lampu-lampu tersebut. Seperti diketahui, pertumbuhan mata bayi belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan merusak bagian retinanya. Begitu pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi risiko terhadap organ reproduksi itu, seperti kemandulan.
Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-ubah; telentang lalu telungkup agar penyinaran berlangsung merata. Dokter akan terus mengontrol apakah kadar bilirubinnya sudah kembali normal atau belum. Jika sudah turun dan berada di bawah ambang batas bahaya, maka terapi bisa dihentikan. Rata-rata dalam jangka waktu dua hari si bayi sudah boleh dibawa pulang.
Meski relatif efektif, tetaplah waspada terhadap dampak fototerapi. Ada kecenderungan bayi yang menjalani proses terapi sinar mengalami dehidrasi karena malas minum. Sementara, proses pemecahan bilirubin justru akan meningkatkan pengeluarkan cairan empedu ke organ usus. Alhasil, gerakan peristaltik usus meningkat dan menyebabkan diare. Memang tak semua bayi akan mengalaminya, hanya pada kasus tertentu saja. Yang pasti, untuk menghindari terjadinya dehidrasi dan diare, orang tua mesti tetap memberikan ASI pada si kecil.
2.Terapi Transfusi
Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfusi darah. Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus). Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan perkembangan. Misalnya keterbelakangan mental, cerebral palsy, gangguan motorik dan bicara, serta gangguan penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, darah bayi yang sudah teracuni akan dibuang dan ditukar dengan darah lain.
1 komentar:
👍
Posting Komentar